(SIPNOSIS BAB 1: Alasan Menulis Buku Ini)
1. Cara paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang yang maha pencinta. Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni, dan – melebihi daripada segalanya- ia cinta kepada dirinya sendiri.( Hal.1)
2. Aku benci dimaki orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti juga setiap manusia lainnya? Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin disenangi orang. Aku mempunyai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorang pun tanpa ego dapat menyatukan 10.000 pulau – pulau menjadi suatu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah setiap orang yang membaca buku ini ingin mendapat pujian? (Hal.3)
3. Akan tetapi dalam hati kecilnya siapa yang menyalahkan, jika aku berkata, “Terima kasih rakyat – rakyat Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan. Terima kasih rakyat – rakyat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menyakiti hatiku. Terima kasih, karena engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu bahwa Sukarno setidak – tidaknya mencoba sekuat tenaganya berbuat untuk negerinya. Terima kasih atas pemberianmu. “Apa yang kuucapkan itu adalah tanda terima kasih – bukan komunisme”. (Hal.7)
4. Dibula Juni 1960, pada waktu aku mengadakan perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Fransico, Hawaii dan Jepang, kepadaku ditujukan kata – kata baru yang dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa maksud “Have 707 Will travel”, hingga seorang sahabat bangsa Amerika menerangkannya.
5. Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia. Bahwa negeri kami terhampar sepanajang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri – negeri Eropa sejak dari pantai barat benuanya sampai ke perbatasan paling ujung di sebelah timur. (Hal.8)
6. Departemen Luar Negeri kami menyatakan kepadaku, bahwa satu kali kunjungan Sukarno sama artinya dengan sepuluh tahun pekerjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa aku mengadakan perlawatan dan mengapa aku selalu memberikan kenyataan – kenyataan tentang tanar airku dalam setiap pidato yang ku ucapkan di setiap penjuru dunia. Aku hendak mengajar orang – orang asing dan memberikan pandangan pertama selintas lalu tentang negeriku, yang terhampar menghijau dan tercinta ini laksana untaian zamrud yang melingkar sepanjang khatulistiwa. (Hal.9)
7. Ya, ya, ya, aku mencintai wanita. Ya, itu ku akui.Akan tetapi aku bukanlah seorang anak pelesiran sebagaimana mereka tuduhkan padaku. Di tokyo aku telah pergi dengan kawan – kawan ke suatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan – makan, bercakap – cakap dan mengdengarkan musik. Hanya itu. Akan tetapi dalam majalah Barat digembar – gemborkan seolah – seolah aku ini Le Grand Seducteur. (Hal 11)
8. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang menglahirkanku. (Hal.13)
9. Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil. Memang ada beberapa orang kawanku. Tidak banyak. Seringkali pikiran oranglah yang berubah – rubah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turur menciptakan pulau kesepian ini disekelilingmu. Karena itulah, apabila aku terlepas dari penjaraku ini, aku menyenangkan diriku sendiri. (Hal.14)
10. “Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tiga puluh tahun”. Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih turut merasakan. Kuanggap mereka memberikan kesegaran. Justru wanitalah yang dapat memberikan ini padaku. Sekali lagi, aku tidak berbicara dalam arti jasmaniah. Aku hanya sekedar tertarik pada suatu pandangan yang lembut atau sesuatu yang kelihatan indah. Sebagai seorang senima, aku tertarik menurut pembawaan watak kepada segala apa yang menyenangkan pikiran. (Hal.15)
11. Dan sebagai seorang Islam yang beriman aku adalah pengikut Nabi Muhammad yang mengatakan, “Tuhan yang dapat menciptakan makhluk – makhluk yang cantik seperti wanita adalah Tuhan yang Maha Besar dan Maha Pengasih.” Aku setuju dengan ucapan beliau. (Hal.16)
12. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah : “Suatu perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” (Hal.17)
13. “Tuan tidak bisa mendatangi diri sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan melalui halaman – halaman buku. Tuan adalah ahli pidato terbesar setelah William Janming Bryan. Tuan Menawan hati sejuta pendengar di lapangan terbuka. Mengapa tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi”(Howard Jones, Duta Besar Amerika). (Hal.20)
14. “Suatu otobiografi tidak ada harganya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna apa – apa. Kalau dia menganggap dirinya seorang besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak Obyektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada penimbangan dari dua – duanya. Sekian banyak yang baik – baik supaya dapat menenangkan egoku dan sekian banyak yang jelek – jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanya yang baik – baik saja orang akan menyebutmu egois, karena memuji diri sendiri. Memasukkan hanya yang jelek – jelek saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan jujur,”apakah Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk?”Hanya saat itulah dia baru dapat diadili”. (Hal.20)
15. Itu sebabnya, mengapa persoalan – persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia. Caraku bukanlah sesungguhnya gaya Barat, kukira. (Hal.21)
16. Dan begitulah, waktunya sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus mengguratkannya sekarang. Mungkin aku tidak mempunyai kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetahui, apakah Sukarno seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Ku kira hanya Sukarno yang dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu ia bersedia menerangkannya. Bertahun – tahun lamanya orang bertanya – tanya, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya; mengapa dia membangun departemen store – departemen store yang baru, sedangkan rakyatnya dalam keadaan compang – camping. (Hal.22)
17. Akan tetapi, mungkin juga aku wajib menceritakan kisah ini kepada tanah airku, kepada bangsaku, kepada anak – anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata – kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku ini ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta. (Hal.23)
1. Cara paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang yang maha pencinta. Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni, dan – melebihi daripada segalanya- ia cinta kepada dirinya sendiri.( Hal.1)
2. Aku benci dimaki orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti juga setiap manusia lainnya? Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin disenangi orang. Aku mempunyai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorang pun tanpa ego dapat menyatukan 10.000 pulau – pulau menjadi suatu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah setiap orang yang membaca buku ini ingin mendapat pujian? (Hal.3)
3. Akan tetapi dalam hati kecilnya siapa yang menyalahkan, jika aku berkata, “Terima kasih rakyat – rakyat Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan. Terima kasih rakyat – rakyat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menyakiti hatiku. Terima kasih, karena engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu bahwa Sukarno setidak – tidaknya mencoba sekuat tenaganya berbuat untuk negerinya. Terima kasih atas pemberianmu. “Apa yang kuucapkan itu adalah tanda terima kasih – bukan komunisme”. (Hal.7)
4. Dibula Juni 1960, pada waktu aku mengadakan perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Fransico, Hawaii dan Jepang, kepadaku ditujukan kata – kata baru yang dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa maksud “Have 707 Will travel”, hingga seorang sahabat bangsa Amerika menerangkannya.
5. Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia. Bahwa negeri kami terhampar sepanajang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri – negeri Eropa sejak dari pantai barat benuanya sampai ke perbatasan paling ujung di sebelah timur. (Hal.8)
6. Departemen Luar Negeri kami menyatakan kepadaku, bahwa satu kali kunjungan Sukarno sama artinya dengan sepuluh tahun pekerjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa aku mengadakan perlawatan dan mengapa aku selalu memberikan kenyataan – kenyataan tentang tanar airku dalam setiap pidato yang ku ucapkan di setiap penjuru dunia. Aku hendak mengajar orang – orang asing dan memberikan pandangan pertama selintas lalu tentang negeriku, yang terhampar menghijau dan tercinta ini laksana untaian zamrud yang melingkar sepanjang khatulistiwa. (Hal.9)
7. Ya, ya, ya, aku mencintai wanita. Ya, itu ku akui.Akan tetapi aku bukanlah seorang anak pelesiran sebagaimana mereka tuduhkan padaku. Di tokyo aku telah pergi dengan kawan – kawan ke suatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan – makan, bercakap – cakap dan mengdengarkan musik. Hanya itu. Akan tetapi dalam majalah Barat digembar – gemborkan seolah – seolah aku ini Le Grand Seducteur. (Hal 11)
8. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang menglahirkanku. (Hal.13)
9. Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil. Memang ada beberapa orang kawanku. Tidak banyak. Seringkali pikiran oranglah yang berubah – rubah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turur menciptakan pulau kesepian ini disekelilingmu. Karena itulah, apabila aku terlepas dari penjaraku ini, aku menyenangkan diriku sendiri. (Hal.14)
10. “Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tiga puluh tahun”. Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih turut merasakan. Kuanggap mereka memberikan kesegaran. Justru wanitalah yang dapat memberikan ini padaku. Sekali lagi, aku tidak berbicara dalam arti jasmaniah. Aku hanya sekedar tertarik pada suatu pandangan yang lembut atau sesuatu yang kelihatan indah. Sebagai seorang senima, aku tertarik menurut pembawaan watak kepada segala apa yang menyenangkan pikiran. (Hal.15)
11. Dan sebagai seorang Islam yang beriman aku adalah pengikut Nabi Muhammad yang mengatakan, “Tuhan yang dapat menciptakan makhluk – makhluk yang cantik seperti wanita adalah Tuhan yang Maha Besar dan Maha Pengasih.” Aku setuju dengan ucapan beliau. (Hal.16)
12. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah : “Suatu perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” (Hal.17)
13. “Tuan tidak bisa mendatangi diri sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan melalui halaman – halaman buku. Tuan adalah ahli pidato terbesar setelah William Janming Bryan. Tuan Menawan hati sejuta pendengar di lapangan terbuka. Mengapa tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi”(Howard Jones, Duta Besar Amerika). (Hal.20)
14. “Suatu otobiografi tidak ada harganya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna apa – apa. Kalau dia menganggap dirinya seorang besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak Obyektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada penimbangan dari dua – duanya. Sekian banyak yang baik – baik supaya dapat menenangkan egoku dan sekian banyak yang jelek – jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanya yang baik – baik saja orang akan menyebutmu egois, karena memuji diri sendiri. Memasukkan hanya yang jelek – jelek saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan jujur,”apakah Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk?”Hanya saat itulah dia baru dapat diadili”. (Hal.20)
15. Itu sebabnya, mengapa persoalan – persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia. Caraku bukanlah sesungguhnya gaya Barat, kukira. (Hal.21)
16. Dan begitulah, waktunya sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus mengguratkannya sekarang. Mungkin aku tidak mempunyai kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetahui, apakah Sukarno seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Ku kira hanya Sukarno yang dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu ia bersedia menerangkannya. Bertahun – tahun lamanya orang bertanya – tanya, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya; mengapa dia membangun departemen store – departemen store yang baru, sedangkan rakyatnya dalam keadaan compang – camping. (Hal.22)
17. Akan tetapi, mungkin juga aku wajib menceritakan kisah ini kepada tanah airku, kepada bangsaku, kepada anak – anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata – kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku ini ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta. (Hal.23)